Jumat, 31 Oktober 2014

Lembaran Kisah Syaikh Utsaimin rahimahullah ( Bag. 2 )

Leave a Comment
Abdullah bin ‘Ali Al-Matawwu’ menceritakan bahwa ia pernah menemani perjalanan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dari Unaizah menuju Al-Bada’i yang jaraknya sekitar 15 km untuk memenuhi undangan acara makan siang. Setelah acara selesai, dalam perjalanan pulang rombongan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjumpai seorang laki-laki yang memiliki jenggot berwarna merah dan dengan pandangan bersahabat ia melambaikan tangan ke mobil kami. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Pelan- pelan, kita akan ajak dia bersama kita.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian berkata, “Hendak pergi kemana anda?” Laki-laki itu menjawab, “Bolehkah saya menumpang sampai ke Unaizah?” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Boleh, tapi dengan dua syarat, pertama anda tidak boleh merokok dan kedua anda harus selalu mengingat Allah.” Ia menjawab, “Saya adalah laki-laki yang tidak merokok. Saya tadinya menumpang kepada seorang laki-laki yang merokok, maka saya minta
turun di sini. Sedangkan untuk mengingat Allah, maka tidaklah ada seorang muslim pun kecuali ia pasti mengingat Allah.” Maka laki-laki itu pun masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan laki-laki tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sedang bersama rombongan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Ketika sampai di Unaizah, laki-laki itu berkata, “Tolong tunjukkan saya di mana rumah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, saya memiliki beberapa permasalahan yang ingin saya tanyakan pada beliau.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Mengapa anda tidak bertanya kepada beliau saat di Bada’i?” Ia menjawab, “Saya tidak bertemu dengan beliau.” Asy- Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Saya melihat anda berbicara dan memberi salam kepada beliau.” Laki- laki itu berkata, “Anda pasti bercanda.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tersenyum dan berkata, “Kerjakanlah shalat Ashar di masjid jami’ Unaizah, maka anda akan bertemu dengannya.” Orang itu berlalu tanpa mengetahui bahwa ia baru saja berbicara dengan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Usai shalat Ashar, laki-laki itu melihat seorang Syaikh di arah depan usai mengimami shalat. Laki-laki itu bertanya tentang Asy-Syaikh tersebut dan diberi tahu bahwa beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Maka laki-laki itupun mendekati Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan meminta maaf karena tidak mengenali beliau sebelumnya. Kemudian ia mengajukan beberapa pertanyaan dan Asy-Syaikh pun menjawabnya. Laki-laki itu sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 38)

“Tahukah kamu siapa Asy-Syaikh itu?”

Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pulang dari Masjidil Haram usai shalat menuju hotel, beliau menjumpai sekumpulan anak muda sedang bermain sepak bola dalam keadaan mereka belum sholat. Maka beliau pun menghentikan permainan sepak bola itu, memberi nasehat kepada mereka, dan mengingatkan mereka kepada Allah dalam keadaan mereka tidak tahu siapa beliau. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melarang mereka untuk meneruskan permainannya sebelum mereka sholat. Salah seorang dari mereka mendekati beliau dan dengan nada tinggi ia memaki-maki. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin membalas kata-kata anak muda itu dengan penuh rasa cinta dan keramahan, “Engkau sebaiknya ikut saya ke hotel, kita bisa bicara di sana.” Waktu itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bersama beberapa pelajar dan mereka mendorong anak muda itu untuk menuruti Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ikut bersama beliau. Maka ia pun ikut bersama Asy- Syaikh Al-’Utsaimin ke hotel. Beberapa saat kemudian beliau meninggalkan ruangan untuk suatu keperluan. Para pelajar yang bersama Asy- Syaikh Al-’Utsaimin bertanya kepada anak muda, “Tahukah kamu siapa Syaikh itu?” Ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Mereka berkata, “Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.” Mendengar jawaban itu, seketika wajah anak muda itu berubah. Ketika Asy- Syaikh Al-’Utsaimin datang, anak muda itu menangis dan mencium kening beliau. Setelah peristiwa itu ia mengalami perubahan dan menjadi anak muda yang shaleh. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41)
“…saya akan keluar untuk mendorong.”

Suatu ketika Asy-Syaikh Al-Utsaimin naik sebuah mobil tua milik salah seorang temannya yang mudah mogok. Dalam perjalanan mobil itupun mogok dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata kepada sopir mobil, “Tinggallah kamu di tempatmu, saya akan keluar untuk mendorong.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin keluar dari mobil dan mendorong seorang diri sampai mobil itu berjalan lagi. Kejadian ini merupakan gambaran betapa beliau rahimahullah sangat rendah hati. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 42)

“Subhanallah, beliau yang sudah tua lebih memilih berdiri untuk shalat.”

Seorang murid Asy-Syaikh Al-’Utsaimin asal Kuwait yang telah belajar selama lima tahun dan dikenal sebagai murid yang sangat rajin menceritakan: Saya pernah menemani Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam perjalanan dari Unaizah menuju Riyadh dan kemudian dilanjutkan ke Mekkah untuk umrah. Usai menunaikan umrah, semua anggota rombongan minta ijin kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk istirahat karena kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang yang dilanjutkan dengan umrah pada hari yang sama. Salah seorang anggota rombongan bernama Asy- Syaikh Hamad menceritakan bahwa dirinya terbangun di tengah malam dan mendapati Asy- Syaikh Al-’Utsaimin sedang shalat. Ia berkata, “Subhanallah, saya yang masih muda memilih tidur sementara beliau yang sudah tua lebih memilih berdiri untuk sholat.” Maka ia pun bangkit untuk mengambil wudhu dan ikut shalat bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Dia berusaha keras untuk melawan rasa kantuknya, namun akhirnya ia tidak bisa bertahan dan pergi tidur meninggalkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin shalat sendirian. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 39)

 “Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin…!”

Seorang anggota Pusat Dakwah dan Bimbingan kota Jeddah menuturkan bahwa selama musim haji tahun 1416 H, dia mendampingi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melakukan dakwah kepada para jamaah haji di Bandara King Abdul Aziz. Serombongan jamaah haji dari Rusia datang dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bermaksud hendak memberikan beberap patah kata pada mereka (berdakwah).  Beliau menjelaskan bahwa nanti akan ada penerjemah yang akan menyampaikan perkataan beliau. Pimpinan jamaah haji itu mengatur anggotanya (untuk mendengarkan ceramah) tanpa ia mengetahui bahwa yang berceramah adalah Asy- Syaikh Al-’Utsaimin. Setelah ceramah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin selesai, pimpinan rombongan bertanya siapa orang yang baru berceramah tadi. Dia diberi tahu bahwa beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Seketika ia berlari menuju Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan mencium kening beliau sambil menangis. Dia kemudian mengambil mikrofon dan mengumumkan bahwa orang yang baru saja berceramah adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Mendengar pengumuman itu para jamaah haji itu pun terkejut dan banyak yang histeris (karena sangat bahagia). Dalam keadaan itu kepala rombongan terus-menerus berseru, “Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin…!” Para jamaah haji itu mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, memberi salam dan mencium kening beliau. Kepala rombongan berkata, “Ini adalah murid-murid anda wahai Syaikh. Mereka dulu mempelajari buku-buku anda di tempat persembunyian di bawah tanah ketika masa pemerintahan komunis.” (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 38)

“Kembalikan mobil itu kepada Pangeran…”

Abdullah bin Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin (putra beliau) berkisah: Suatu ketika Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz Alu Su’ud, gubernur Qashim, memberi hadiah kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebuah mobil baru. Ketika pulang ke rumah, beliau melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah dan beliau pun diberi tahu tentang mobil itu. Mobil itu tetap di luar rumah sampai lima hari tanpa dipakai oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Beliau akhirnya berkata kepada putranya, Abdullah, “Kembalikan mobil itu kepada Pangeran dan ucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya. Beritahu dia bahwa saya tidak membutuhkannya.” Maka mobil itupun dikembalikan kepada Pangeran Abdullah, sementara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap mengendarai mobilnya yang sudah tua dan murah. Sampai meninggal beliau masih tetap memiliki mobil yang sama. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 23)

“Sekarang ijinkan mereka pulang kepada keluarganya!”

Ihsan bin Muhammad Al-’Utaibi menceritakan: Beberapa pemuda dari Yordania melakukan perjalanan dengan mobil untuk melakukan umroh. Sesampai di Khaibar mereka mengalami kecelakaan, yaitu mobil mereka menabrak lampu jalan. Polisi pun datang dan meminta kepada sopir untuk membayar ganti rugi kerusakan sebesar 21.000 Riyal (sekitar 50 juta rupiah). Baik sopir maupun para pemuda itu tidak mampu membayar denda sebesar itu. Maka polisi pun menyita paspor milik sopir sampai dia mampu membayar denda sepulang dari umrah. Beberapa pelajar yang mengetahui kasus ini berinisiatif membantu mencari dana. Mereka berpikir jalan terbaik adalah dengan menyampaikan permasalahan ini kepada ulama. Maka salah seorang dari mereka mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin di ruang beliau di Masjidil Haram, Mekkah, usai shalat Ashar. Setelah diberi tahu permasalahan yang terjadi, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Datanglah besok, insya Allah semua akan beres.” Namun para pelajar tidak datang pada keesokkan harinya karena mereka berpikir bahwa jumlah uang yang dibutuhkan sangat besar. Disamping itu, menurut pikiran mereka, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin juga tidak kenal dengan mereka. Maka pelajar itu kembali ke pemuda dari Yordania yang mengalami kecelakaan dan menyatakan bahwa mereka telah berusaha membantu, setidaknya telah menyampaikan hal ini kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Para pemuda itu berencana pulang ke Yordania namun mereka harus melewati pemeriksaan di Khaibar yang akan memeriksa paspor sopir. Mereka mengharap kemurahan hati petugas imigrasi (pemeriksa paspor) dan mereka mau melupakan kewajiban mereka untuk membayar denda. Ketika mereka datang ke kantor, kepala kantor meminta mereka membayar penuh denda tersebut dan mereka tidak boleh pergi (sebelum membayar denda). Mereka boleh pergi tetapi tidak boleh bersama sopirnya. Para pemuda dan sopir menjadi khawatir. Apa yang harus mereka lakukan kini? Mereka kemudian mendatangi pelajar yang telah menemui Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan berkata, “Mengapa anda tidak mendatangi beliau lagi? Apa yang beliau katakan?” Dia menjawab, “Beliau berkata: datanglah lagi besok.” Mereka bertanya, “Apakah engkau datang keesokan harinya?” Dia menjawab, “Tidak.” Mereka berkata, “Hubungi beliau lagi, semoga Allah memberi jalan kepada kami melalui beliau. Saat ini kami berada di tempat yang jauh dari keluarga di hari-hari terakhir bulan Ramadhan.” Pelajar itu pun kembali mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Pemuda itu kembali menerangkan permasalahan yang terjadi. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya, “Apakah engkau berasal dari Yordania?” Ia menjawab, “Ya, wahai Syaikh.” Asy-Syaikh berkata, “Bukankah waktu itu saya sudah meminta engkau untuk datang esok harinya, tapi mengapa engkau tidak datang?” Ia menjawab, “Saya merasa malu, wahai Syaikh.” Maka Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Sekarang mengapa engkau datang lagi? …di beberapa kejadian, jumlah uang yang kita butuhkan bisa terkumpul dalam satu hari.” Pelajar itu hampir tidak percaya mendengar hal itu. Ia merasa senang karena memiliki harapan baru. Ia berkata, “Sekarang apa yang harus kami kerjakan, wahai Syaikh?” Asy- Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Saya akan mentransfer uang ke bagian imigrasi dan mencoba meminta mereka agar memudahkah urusan kalian dan agar mereka mengijinkan kalian pulang ke keluarga kalian sebelum hari Raya Idul Fitri.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian berbicara kepada kepala imigrasi, “Saya telah mengumpulkan uang (untuk membayar denda), beritahu saya nomor rekening anda supaya saya bisa mentransfernya. Kemudian ijinkan para pemuda dan sopirnya pulang ke keluarganya.” Kepala imigrasi menjawab dengan nada tidak sopan, “Maaf Syaikh, kami minta supaya uang itu dalam bentuk cash, sehingga kami pun belum bisa mengijinkan mereka pergi.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjadi marah mendengar jawaban itu. Beliau berkata, “Saya katakan kepada anda, saya telah memiliki uang itu. Sekarang ijinkan mereka pulang kepada keluarganya.” Namun kepala imigrasi itu tetap menolak. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian meletakkan gagang telepon. Beberapa saat kemudian keadaan kantor imigrasi itu menjadi terbalik. Gubernur Madinah, Pangeran Abdul Majid, menelepon untuk menanyakan kepala imigrasi yang telah menolak permintaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Gubernur kemudian menjatuhi hukuman kepada kepala imigrasi karena telah bertindak tidak disiplin. Dalam keadaan ini, para pegawai di kantor itu mencoba memberi pembelaan kepada kepala imigrasi. Para pemuda yang masih di kantor imigrasi merasakan adanya perubahan nada bicara yang terjadi pada para pegawai, dari tidak ramah menjadi sangat ramah. Gubernur telah memerintahkan mereka untuk mengijinkan para pemuda itu dan sopirnya pergi dan biaya perbaikan lampu akan ditanggung negara. Tidak bisa digambarkan betapa gembiranya para pemuda itu. Mereka mengucapkan terima kasih kepada  Asy-Syaikh Al-’Utsaimin atas bantuan dan pembelaannya. Mereka juga mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Madinah yang memiliki rasa hormat kepada ulama dan menghargai posisi mereka.” (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 75)

“…siapa yang akan duluan?”

Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin mengisahkan: Ketika kami sedang merekam siaran khusus kajian dari radio (Nur ‘alad Darb) di rumah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, kami mendengar suara berisik dari orang yang sedang bekerja di dekat rumah beliau (tetangga). Sepertinya mereka sedang memperbaiki sesuatu, dimana suara yang mereka timbulkan mengganggu proses rekaman. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian mendatangi mereka untuk memberi tahu rekaman yang sedang dilakukan dan meminta mereka berhenti sebentar. Namun ketika beliau kembali dan kami siap merekam, beliau memandang ke sekeliling dan berkata, “Ya Abdul Karim, siapa yang akan duluan?” Aku menjawab, “Mereka saja, ya Syaikh.” Maka Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kembali menemui merekam. Dengan penuh keramahan dan khawatir melanggar hak mereka, beliau berkata, “Kami akan menunda rekaman kami beberapa waktu sampai kalian menyelesaikan pekerjaannya.” (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 55)

 Sumber: Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu Abdillah Alercon, dll
(www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima, hal. 101-118

0 komentar:

Posting Komentar