Jumat, 31 Oktober 2014

Lembaran Kisah Syaikh Utsaimin rahimahullah ( Bag. 3 Habis)

Leave a Comment
Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin menceritakan: Telah diketahui oleh banyak orang bahwa Asy- Syaikh Al-’Utsaimin adalah orang yang tidak senang dengan penghormatan, termasuk gelar atau jabatan tinggi. Beliau adalah anggota Lembaga Ulama Senior (Kibarul Ulama), namun beliau meminta saya agar tidak menyebutkan hal ini saat saya mengenalkan beliau dalam acara kajian di radio (Nur ‘alad Darb). Beliau minta saya cukup menyebutkan beliau sebagai imam dan khatib Masjid Al-Jami’ Al-Kabir, Unaizah dan guru di Fakultas Syariah dan Ushuluddin, Qashim. Maka saya pun memenuhi permintaan beliau sejak saya memandu acara ini sampai beliau meninggal dunia. Beberapa orang yang senang kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya, “Ya Syaikh Khalid, mengapa anda tidak menyebutkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebagai anggota Lembaga Ulama Senior?” Saya menjawab bahwa ini adalah permintaan dari beliau sendiri. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 34)



Kalimat Mulia dari Asy-Syaikh Al-’Utsaimin

Asy-Syaikh Badar ibn Nadhir Al-Masyari menceritakan:
Ketika baru pulang dari Amerika sehabis berobat, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ditanya tentang kesehatan beliau. Maka beliau menjawab dengan sebuah kalimat mulia, “Ketahuilah, sesungguhnya sehat dan sakit itu tidak akan terjadi lebih lama atau pun mendahului dari waktu yang ditentukan. Hidup saya dan anda telah ditulis sebelum Allah menciptakan surga dan neraka. Maka yakinilah hal ini, sebagaimana saya pun meyakininya.” (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 111)

 “Anda Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz?!”

Ihsan ibn Muhammad Al-’Utaibi mengisahkan: Sehabis shalat di Masjidil Haram, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ingin pergi ke suatu tempat. Maka beliau memanggil taksi dan pergi dengannya. Dalam perjalanan, sopir taksi ingin mengetahui siapa gerangan yang menjadi penumpangnya itu. Ia bertanya, “Siapakah anda wahai Syaikh?” Beliau menjawab, “Muhammad bin Utsaimin.” Sopir taksi itu terkejut, “Asy-Syaikh Al-’Utsaimin?” Ia menganggap beliau berbohong karena tidak percaya ada seorang Syaikh mau naik taksi. Asy- Syaikh Al-’Utsaimin menjawab, “Ya, benar.” Sopir taksi memutar kepalanya untuk melihat wajah Asy- Syaikh Al-’Utsaimin. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian bertanya, “Lantas anda ini siapa, wahai saudaraku?” Ia menjawab, “Saya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz!” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pun tersenyum mengulang pertanyaannya, “Anda Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz?” Sopir itu menjawab, “Ya, karena anda telah menyebut diri anda Asy-Syaikh Al-’Utsaimin!” Asy- Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Tapi Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz buta dan tidak bisa menyetir mobil.” Sopir taksi itu akhirnya menyadari bahwa penumpang yang ada di belakangnya adalah benar- benar Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 79)

Mengajar Sambil Diperiksa Kesehatannya 

Muhammad Rabi’ Sulaiman menceritakan:
Tahun 1420 H terjadi sebuah peristiwa yang dikenang, yaitu pada bulan Ramadhan ketika Asy- Syaikh Al-’Utsaimin sedang memberikan kajian rutinnya di Masjidil Haram, Mekkah. Seorang dokter spesialis yang merawat beliau menasehati bahwa tubuh Asy-Syaikh Al’Utsaimin perlu istirahat secara rutin tiap sore dan tidak boleh mengajar setelah shalat Tarawih. Dokter itu ingin memberikan transfusi darah dan beberapa pemeriksaan medis lain, namun Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjawab, “Kerjakan apa yang harus anda kerjakan sementara saya tetap mengajar.” Maka sambil memberikan kajian, dokter itu memasukkan jarum ke tubuh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk melakukan transfusi darah, beberapa pemeriksaan kesehatan, mengecek suhu badan, dan denyut jantung. Demikianlah, betapa tingginya keinginan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk menyebarkan ilmu dan mengajari manusia. Hal ini dilakukan sampai malam terakhir bulan Ramadhan sebelum beliau pergi dari Masjadil Haram. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 24)

“Lalu untuk saya mana?”

 Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin menceritakan: Saat sedang berada di studio rekaman untuk acara radio “Pertanyaan lewat Telepon”, seseorang bernama Sa’ad Khamis selalu berkata kepada Asy- Syaikh Al-’Utsaimin setiap selesai melakukan sesion rekaman, dengan perkataan, “Semoga Allah memberi balasan kepada anda dengan kebaikan wahai Syaikh dan semoga Allah merahmati kedua orang tua anda.” Saat itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Amin, wahai Sa’ad. Lalu untuk saya mana?” Sa’ad berkata, “Semoga Allah merahmati kedua orang tua anda.” Asy-Syaikh pun berkata, “Amin. Dan untuk saya mana?” Sa’ad akhirnya menyadari perkataan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, maka ia pun berkata, “Semoga Allah merahmati anda dan orang tua anda, dan semoga memberi balasan dengan yang lebih baik kepada anda.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tersenyum dan kemudian tertawa. Kami pun akhirnya tertawa bersama. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63)

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin Menjahit Sendiri Pakaiannya

Diceritakan oleh seorang murid beliau bahwa suatu ketika ia mengunjungi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin di Mekkah. Saat itu sedang musim haji dan beliau berada di dalam penginapannya. Ia jumpai beliau sedang menjahit jubahnya. (Ibn ‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163)

Kesederhanaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah seseorang yang memiliki sifat sederhana dan rendah hati. Beliau tidak suka tidur di atas kasur ataupun di alas yang empuk, namun beliau biasa tidur di lantai atau di atas tikar dari ijuk (jerami) yang akan memberikan bekas di punggung beliau. (Ibn ‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163)

Melawan Rasa Kantuk demi Umat

Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin menceritakan: Suatu malam saat kami sedang  melakukan rekaman untuk acara radio (Nur ‘ala Darb), Asy-Syaikh Al-’Utsaimin nampak diserang rasa kantuk. Dari kejadian ini diketahui bahwa beliau adalah seorang yang sangat sabar, toleran, dan bersemangat untuk segala sesuatu yang di dalamnya terdapat manfaat untuk umat. Beliau berusaha melawan rasa kantuknya sehingga kami bisa melanjutkan proses rekaman. Beliau meminta berhenti sebentar dan minta kabel mikrofon dipanjangkan sehingga beliau bisa menjawab pertanyaan sambil berdiri. Kami memberi beliau mikrofon kecil yang bisa ditempelkan di baju beliau dengan kabel yang lebih panjang. Beliau melanjutkan menjawab pertanyaan sambil berjalan- jalan di sekitar ruangan untuk menghilangkan rasa kantuk. Ini dilakukan beliau sampai proses rekaman selesai. Inilah perhiasan seorang ulama sejati dan keutamaan yang mereka terapkan dalam semua urusan umat baik dalam keilmuan maupun amalan mereka. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 56)

 Sumber: Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu Abdillah Alercon, dll
(www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima, hal. 101-118

0 komentar:

Posting Komentar