Berikut
ini nasehat untuk wanita, untuk istri, untuk ibu rumah tangga dan ibunya
anak-anak yang ingin menjadikan rumahnya sebagai pondok yang tenang dan tempat
nan aman yang dipenuhi cinta dan kasih sayang, ketenangan dan kelembutan.
Wahai
wanita mukminah!
Sembilan nasehat ini aku persembahkan untukmu, yang dengannya engkau membuat ridla
Tuhanmu, engau dapat membahagiakan suamimu dan engkau dapat menjaga keluargamu.
Pertama: Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat
Bila
engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah
kepada Allah!!
Sesungguhnya
kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncangkan kerajaan. Maka janganlah
engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah dan jangan engkau
seperti Fulanah yang telah bermaksiat kepada Allah… Maka ia berkata dengan
menyesal penuh tangis setelah dicerai oleh sang suami: “Ketaatan menyatukan
kami dan maksiat menceraikan kami…”
Wahai
hamba Allah… Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu dan menjaga untukmu
suamimu dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan
mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan
mencerai-beraikan keutuhannya.
Karena
itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan
berpaling dari suaminya, ia berkata “Aku mohon ampun kepada Allah… itu terjadi
karena perbuatan tanganku (kesalahanku)…”
Maka
hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:
-
Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang
tidak benar. Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya’ dan sum’ah.
-
Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang
lain(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita
lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olokkan).” (Al Hujuraat: 11)
-
Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi
mahram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهُمْ وَأَبْغَضَ
الْبِلادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهُمْ
“Negeri
yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling
dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.”1
-
Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada
para pembantu dan pendidik-pendidik yang kafir.
-
Meniru wanita-wanita kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa
yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”2
-
Menyaksikan film-film porno dan mendengarkan nyanyian.
-
Membaca majalah-majalah lawakan/humor.
-
Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan mendesak.
-
Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.3
-
Bersahabat dengan wanita-wantia fajir dan fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ
“Seseorang
itu menurut agama temannya.”4
-
Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah)
Hendaknya
seorang istri berupaya memahami suaminya. Ia tahu apa yang disukai suami maka
ia berusaha memenuhinya. Dan ia tahu apa yang dibenci suami maka ia berupaya
untuk menjauhinya, dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada
Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al
Khaliq (Allah Ta`ala). Berikut ini dengarkanlah kisah seorang istri yang bijaksana
yang berupaya memahami suaminya.
Berkata
sang suami kepada temannya: “Selama dua puluh tahun hidup bersama belum pernah
aku melihat dari istriku perkara yang dapat membuatku marah.”
Maka
berkata temannya dengan heran: “Bagaimana hal itu bisa terjadi.”
Berkata
sang suami: “Pada malam pertama aku masuk menemui istriku, aku mendekat padanya
dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka ia berkata: ‘Jangan
tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’ Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah dan
shalawat atas Rasulullah… Aku adalah wanita asing, aku tidak tahu tentang
akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan
melakukannya dan apa yang engkau tidak sukai niscaya aku akan meninggalkannya.’
Kemudian ia berkata: ‘Aku ucapkan perkataaan ini dan aku mohon ampun kepada
Allah untuk diriku dan dirimu.’”
Berkata
sang suami kepada temannya: “Demi Allah, ia mengharuskan aku untuk berkhutbah
pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah dan aku
mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sungguh engkau telah
mengucapkan suatu kalimat yang bila engkau tetap berpegang padanya, maka itu
adalah kebahagiaan untukmu dan jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya)
jadilah itu sebagai bukti untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan
aku benci ini dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan
apa yang engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’ Istri berkata: ‘Apakah engkau
suka bila aku mengunjungi keluargaku?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat
istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering
berkunjung). Ia berkata lagi: ‘Siapa di antara tetanggamu yang engkau suka
untuk masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau
tidak sukai maka akupun tidak menyukainya?’ Aku katakan: ‘Bani Fulan adalah
kaum yang shaleh dan Bani Fulan adalah kaum yang jelek.’”
Berkata
sang suami kepada temannya: “Lalu aku melewati malam yang paling indah
bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam keadaan tidak pernah
aku melihat kecuali apa yang aku sukai. Suatu ketika di permulaan tahun,
tatkala aku pulang dari tempat kerjaku, aku dapatkan ibu mertuaku ada di
rumahku. Lalu ibu mertuaku berkata kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang
istrimu?’”
Aku
jawab: “Ia sebaik-baik istri.”
Ibu
mertuaku berkata: “Wahai Abu Umayyah.. Demi Allah, tidak ada yang dimiliki para
suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek daripada istri penentang
(lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya sesuai dengan kehendakmu.”
Berkata
sang suami: “Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, belum pernah aku
mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali sekali, itupun karena aku berbuat
dhalim padanya.”5
Alangkah
bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku tidak tahu apakah kekagumanku tertuju
pada istri tersebut dan kecerdasan yang dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang
ibu dan pendidikan yang diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami
dan hikmah yang dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya
kepada siapa yang Dia kehendaki.
Ketiga: Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik
Sesungguhnya
hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ
أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya
aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku
perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”6
Hak
suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah
dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Bersabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِثْنَانِ لا تُجَاوِزُ صَلاتُهُمَا رُؤُوْسُهُمَا: عَبْدٌ
آبَق مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى
تَرْجِعَ
“Dua
golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari
dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia
kembali.”7
Karena
itulah Aisyah Ummul Mukminin berkata dalam memberi nasehat kepada para wanita:
“Wahai sekalian wanita, seandainya kalian mengetahui hak suami-suami kalian
atas diri kalian niscaya akan ada seorang wanita di antara kalian yang mengusap
debu dari kedua kaki suaminya dengan pipinya.”8
Engkau
termasuk sebaik-baik wanita!!
Dengan
ketaatanmu kepada suamimu dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan
menjadi sebaik-baik wanita, dengan izin Allah. Pernah ada yang bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wanita bagaimanakah yang
terbaik?” Beliau menjawab:
اَلَّتِى تَسِرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ،
وَلا تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلا مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Yang
menyenangkan suami ketika dipandang, taat kepada suami jika diperintah dan ia
tidak menyalahi pada dirinya dan hartanya dengan yang tidak disukai suaminya.” (Isnadnya hasan)
Ketahuilah,
engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada
Allah dan taat kepada suamimu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
اَلْمَرْأَةُ إِذَا صَلَّتْ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَأَحْصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، فَلْتَدْخُلُ مِنْ أَيِّ
أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Bila
seorang wanita shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, menjaga
kemaluannya dan taat kepada suaminya, ia akan masuk surga dari pintu mana saja
yang ia inginkan.”9
Keempat: Bersikap qana’ah (merasa cukup)
Kami
menginginkan wanita muslimah ridla dengan apa yang diberikan (suami) untuknya
baik itu sedikit ataupun banyak. Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan
suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Dalam riwayat disebutkan
“Wanita yang paling besar barakahnya.” Wahai siapa gerangan wanita itu?! Apakah
dia yang menghambur-hamburkan harta menuruti selera syahwatnya dan
mengenyangkan keinginannya? Ataukah dia yang biasa mengenakan pakaian termahal
walau suaminya harus berhutang kepada teman-temannya untuk membayar harganya?!
Sekali-kali tidak… demi Allah, namun (mereka adalah):
أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةٌ، أَيْسَرُّهُنَّ مُؤْنَةً
“Wanita
yang paling besar barakahnya adalah yang paling ringan maharnya.”10
Renungkanlah
wahai suadariku muslimah adabnya wanita salaf radliallahu ‘anhunna… Salah
seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu
wasiat padanya. Apa wasiatnya? Ia berkata kepada sang suami: “Hati-hatilah
engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar
dari rasa lapar namun kami tidak bisa sabar dari api neraka…”
Adapun
sebagian wanita kita pada hari ini apa yang mereka wasiatkan kepada suaminya
jika hendak keluar rumah?! Tak perlu pertanyaan ini dijawab karena aku yakin
engkau lebih tahu jawabannya dari pada diriku.
Kelima : Mengatur waktu dan segala urusan rumah tangga.
dalam mengatur urusan rumah, seperti mendidik anak-anak dan tidak
menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan
baik dan menyiapkan makan pada waktunya. Termasuk pengaturan yang baik adalah
istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak
berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.
Renungkanlah
semoga Allah menjagamu, kisah seorang wanita, istri seorang tukang kayu… Ia
bercerita: “Jika suamiku keluar mencari kayu (mengumpulkan kayu dari gunung)
aku ikut merasakan kesulitan yang ia temui dalam mencari rezki, dan aku turut
merasakan hausnya yang sangat di gunung hingga hampir-hampir tenggorokanku
terbakar. Maka aku persiapkan untuknya air yang dingin hingga ia dapat
meminumnya jika ia datang. Aku menata dan merapikan barang-barangku (perabot
rumah tangga) dan aku persiapkan hidangan makan untuknya. Kemudian aku berdiri
menantinya dengan mengenakan pakaianku yang paling bagus. Ketika ia masuk ke
dalam rumah, aku menyambutnya sebagaimana pengantin menyambut kekasihnya yang
dicintai, dalam keadaan aku pasrahkan diriku padanya… Jika ia ingin beristirahat
maka aku membantunya dan jika ia menginginkan diriku aku pun berada di antara
kedua tangannya seperti anak perempuan kecil yang dimainkan oleh ayahnya.”
Keenam : Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan
kesedihannya.
Jika
engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam duka cita dan
kesedihannya. Aku ingin mengingatkan engkau dengan seorang wanita yang terus
hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang
terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya dan panjangnya
masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati suami. Bahkan ia terus
mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah
yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan
rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. Suatu hari
istri yang lain itu (yakni Aisyah radliallahu ‘anha) berkata:
مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِلنَّبِيِّ؟ مَا غِرْتُ عَلَى
خَدِيْجَةَ هَلَكَتْ قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَنِي، لَمَّا كُنْتُ أَسْمَعُهُ
يَذْكُرُهَا
“Aku
tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal ia meninggal sebelum
beliau menikahiku, mana kala aku mendengar beliau selalu menyebutnya.”11
Dalam
riwayat lain:
مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا وَلَكِنْ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا
“Aku
tidak pernah cemburu kepada seorangpun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah
melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak
menyebutnya.”12
Suatu
kali Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah
beliau menyebut Khadijah:
كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلا خَدِيْجَةُ
فَيَقُولُ لَهَا إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ
“Seakan-akan
di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada
Aisyah: ‘Khadijah itu begini dan begini.’”13
Dalam
riwayat Ahmad pada Musnadnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan
begini” (dalam hadits diatas) adalah sabda beliau:
آمَنَتْبِي حِيْنَ كَفَرَ النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْكَذَّبَنِي
النَّاسُ رَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْحَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللهُ
مِنْهَا الوَلَد
“Ia
beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua
orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang
meng-haramkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezki berupa anak
darinya.”14
Dialah
Khadijah yang seorangpun tak akan lupa bagaimana ia mengokohkan hati Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan memberi dorongan kepada beliau. Dan ia menyerahkan
semua yang dimilikinya di bawah pengaturan beliau dalam rangka menyampaikan
agama Allah kepada seluruh alam.
Seorangpun
tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang
setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu
pada kali yang pertama:
وَاللهُ لا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ
وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ
الْحَقِّ
“Demi
Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau
menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang
tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.”15
Jadilah
engkau wahai saudari muslimah seperi Khadijah, semoga Allah meridhainya dan
meridlai kita semua.
Ketujuh : Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak
melupakan keutamaanya.
Siapa
yang tidak tahu berterimakasih kepada manusia, ia tidak akan dapat bersyukur
kepada Allah. Maka janganlah meniru wanita yang jika suaminya berbuat kebaikan
padanya sepanjang masa (tahun), kemudian ia melihat sedikit kesalahan dari
suaminya, ia berkata: “Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu…” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ
أَكْثَرَ اَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَمْ ذَلِكَ قَالَ
تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ
“Wahai
sekalian wanita bersedekahlah karena aku melihat mayoritas penduduk nereka
adalah kalian.”
Maka mereka (para wanita) berkata: “Ya Rasulullah kepada demikian?” Beliau
menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.”16
Mengkufuri
kebikan suami adalah menentang keutamaan suami dan tidak menunaikan haknya.
Wahai
istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat engkau tunjukkan dengan
senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa
ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau
ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali
cintamu dalam hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam
menunaikan hakmu. Namun di mana bandingan kesalahan itu dengan lautan keutamaan
dan kebaikannya padamu.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يَنْظُرُ اللهَ إِلَى امْرَأَةٍ لا تَشْكُرُ زَوْجَهَا وَهِيَ
لا تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ
“Allah
tidak akan melihat kepada istri yang tidak tahu bersyukur kepada suaminya dan
ia tidak merasa cukup darinya.”17
Kedelapan : Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).
Istri
adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling
tahu kekhususannya (yang paling pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan
rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapa pun maka dari
sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi.
Sesungguhnya
majelis sebagian wanita tidak luput dari membuka dan menyebarkan aib-aib suami
atau sebagian rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa yang besar.
Karena itulah ketika salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebarkan satu rahasia beliau, datang hukuman keras, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak mendekati isti tersebut selama satu
bulan penuh.
Allah
Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya berkenaan dengan peristiwa tersebut.
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ
عَنْ بَعْضٍ
“Dan
ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari
isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala si istri menceritakan peristiwa
itu (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu
Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepada beliau) dan menyembunyikan
sebagian yang lain.”
(At Tahriim: 3)
Suatu
ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengunjungi putranya Ismail, namun
beliau tidak mejumpainya. Maka beliau tanyakan kepada istri putranya, wanita
itu menjawab: “Dia keluar mencari nafkah untuk kami.” Kemudian Ibrahim bertanya
lagi tentang kehidupan dan keadaan mereka. Wanita itu menjawab dengan mengeluh
kepada Ibrahim: “Kami adalah manusia, kami dalam kesempitan dan kesulitan.”
Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata: “Jika datang suamimu, sampaikanlah salamku
padanya dan katakanlah kepadanya agar ia mengganti ambang pintunya.” Maka
ketika Ismail datang, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal
itu, Ismail berkata: “Itu ayahku, dan ia memerintahkan aku untuk
menceraikanmu. Kembalilah kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan
istrinya. (Riwayat Bukhari)
Ibrahim
‘Alaihis Salam memandang bahwa wanita yang membuka rahasia suaminya dan
mengeluhkan suaminya dengan kesialan, tidak pantas untuk menjadi istri Nabi
maka beliau memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya.
Oleh
karena itu, wahai saudariku muslimah, simpanlah rahasia-rahasia suamimu,
tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i
seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti (ahli fatwa) atau
orang yang engkau harapkan nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun radliallahu
‘anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hindun
berkata: “Abu Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak memberiku apa yang
mencukupiku dan anak-anakku. Apakah boleh aku mengambil dari hartanya tanpa
izinnya?!”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan
anakmu dengan cara yang ma`ruf.”
Cukup
bagimu wahai saudariku muslimah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam:
إِنَّ مِنْ شَرِ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ
يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرُّ صَاحِبَهُ
“Sesungguhnya
termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah
pria yang bersetubuh dengan istrinya dan istri yang bersetubuh dengan suaminya,
kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pasanannya.”18
Kesembilan : Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari
kesalahan-kesalahan.
-
Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan
kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya, padahal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah melarang yang demikian itu dengan sabdanya:
لا تُبَاشِرُ مَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا
كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
“Janganlah
seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu ia mensifatkan wanita itu kepada
suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya.”19
Tahukah
engkau mengapa hal itu dilarang?!
-
Termasuk kesalahan adalah apa yang dilakukan sebagian besar istri ketika
suaminya baru kembali dari bekerja. Belum lagi si suami duduk dengan enak, ia
sudah mengingatkannya tentang kebutuhan rumah, tagihan, tunggakan-tunggakan dan
uang jajan anak-anak. Dan biasanya suami tidak menolak pembicaraan seperti ini,
akan tetapi seharusnyalah seorang istri memilih waktu yang tepat untuk
menyampaikannya.
-
Termasuk kesalahan adalah memakai pakaian yang paling bagus dan berhias dengan
hiasan yang paling bagus ketika keluar rumah. Adapun di hadapan suami, tidak
ada kecantikan dan tidak ada perhiasan.
Dan
masih banyak lagi kesalahan lain yang menjadi batu sandungan (penghalang) bagi
suami untuk menikmati kesenangan dengan istrinya. Istri yang cerdas adalah yang
menjauhi semua kesalahan itu.
Footnote:
1Riwayat
Muslim dalam Al-Masajid: (bab Fadlul Julus fil Mushallahu ba’dash Shubhi
wa Fadlul Masajid)
2Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albany, lihat “Irwaul Ghalil“, no. 1269 dan “Shahihul Jami’” no. 6149
3Lihat kitab “Kaif Taksabina Zaujak?!” oleh Syaikh Ibrahim bin Shaleh Al Mahmud, hal. 13
4Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, ia berkata: Hadits hasan gharib. Berkata Al Albany: “Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Tirmidzi.” Lihat takhrij “Misykatul Masabih” no. 5019
5Al Masyakil Az Zaujiyyah wa Hululuha fi Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman Al Khasyat, hal. 28-29
6Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan Al Albany, lihat “Shahihul Jami`us Shaghir” no. 5294
7Riwayat Thabrani dan Hakim dalam “Mustadrak“nya, dishahihkan Al Albany hafidhahullah sebagaimana dalam “Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah” no. 288
8Lihat kitab “Al Kabair” oleh Imam Dzahabi hal. 173, cetakan Darun Nadwah Al Jadidah
9Riwayat Ibnu Nuaim dalam “Al Hilyah“. Berkata Syaikh Al Albany: “Hadits ini memiliki penguat yang menaikkannya ke derajat hasan atau shahih.” Lihat “Misykatul Mashabih” no. 3254
10Hadits lemah, diriwayatkan Hakim dan dishahihkannya dan disepakati Dzahabi. Namun Al Albany mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Illatnya pada Ibnu Sukhairah dan pembicaraaan tentangnya disebutkan secara panjang lebar pada tempatnya, lihatlah dalam “Silsilah Al Ahadits Ad Dlaifah” no. 1117
11Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
12Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
13Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
14Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya 6/118 no. 24908. Aku katakan: Al Hafidh Ibnu Hajar membawakan riwayat ini dalam “Fathul Bari“, ia berkata: “Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari Aisyah.” Dan ia menyebutkannya, kemudian mendiamkannya. Di tempat lain (juz 7/138), ia berkata: “Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani.” Kemudian membawakan hadits tersebut. Berkata Syaikh kami Abdullah Al Hakami hafidhahullah: “Mungkin sebab diamnya Al Hafidh rahimahullah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mujalid bin Said Al Hamdani. Dalam “At Taqrib” hal. 520, Al Hafidh berkata: “Ia tidak kuat dan berubah hapalannya pada akhir umurnya.” Al Haitsami bersikap tasahul (bermudah-mudah) dalam menghasankan hadits ini, beliau berkata dalam Al Majma’ (9/224): “Diriwayatkan Ahmad dan isnadnya hasan.”
15Muttafaq alaihi, diriwayatkan Bukhari dalam “Kitab Bad’il Wahyi” dan Muslim dalam “Kitabul Iman”
16Diriwayatkan Bukhari dalam “Kitab Al Haidl“, (bab Tarkul Haidl Ash Shaum) dan diriwayatkan Muslim dalam “Kitabul Iman” (bab Nuqshanul Iman binuqshanith Thaat)
17Diriwayatkan Nasa’i dalam “Isyratun Nisa’” dengan isnad yang shahih.
18Diriwayatkan Muslim dalam “An Nikah” (bab Tahrim Ifsya’i Sirril Mar’ah).
19Diriwayatkan Bukhari dalam “An Nikah” (bab Laa Tubasyir Al Mar’atul Mar’ah). Berkata sebagian ulama: “Hikmah dari larangan itu adalah kekhawatiran kagumnya orang yang diceritakan terhadap wanita yang sedang digambarkan, maka hatinya tergantung dengannya (menerawang membayangkannya) sehingga ia jatuh kedalam fitnah. Terkadang yang menceritakan itu adalah istrinya -sebagaimana dalam hadits dia atas- maka bisa jadi hal itu mengantarkan pada perceraiannya. Menceritakan kebagusan wanita lain kepada suami mengandung kerusakan-kerusakan yang tidak terpuji akibatnya.
2Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albany, lihat “Irwaul Ghalil“, no. 1269 dan “Shahihul Jami’” no. 6149
3Lihat kitab “Kaif Taksabina Zaujak?!” oleh Syaikh Ibrahim bin Shaleh Al Mahmud, hal. 13
4Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, ia berkata: Hadits hasan gharib. Berkata Al Albany: “Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Tirmidzi.” Lihat takhrij “Misykatul Masabih” no. 5019
5Al Masyakil Az Zaujiyyah wa Hululuha fi Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman Al Khasyat, hal. 28-29
6Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan Al Albany, lihat “Shahihul Jami`us Shaghir” no. 5294
7Riwayat Thabrani dan Hakim dalam “Mustadrak“nya, dishahihkan Al Albany hafidhahullah sebagaimana dalam “Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah” no. 288
8Lihat kitab “Al Kabair” oleh Imam Dzahabi hal. 173, cetakan Darun Nadwah Al Jadidah
9Riwayat Ibnu Nuaim dalam “Al Hilyah“. Berkata Syaikh Al Albany: “Hadits ini memiliki penguat yang menaikkannya ke derajat hasan atau shahih.” Lihat “Misykatul Mashabih” no. 3254
10Hadits lemah, diriwayatkan Hakim dan dishahihkannya dan disepakati Dzahabi. Namun Al Albany mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Illatnya pada Ibnu Sukhairah dan pembicaraaan tentangnya disebutkan secara panjang lebar pada tempatnya, lihatlah dalam “Silsilah Al Ahadits Ad Dlaifah” no. 1117
11Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
12Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
13Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
14Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya 6/118 no. 24908. Aku katakan: Al Hafidh Ibnu Hajar membawakan riwayat ini dalam “Fathul Bari“, ia berkata: “Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari Aisyah.” Dan ia menyebutkannya, kemudian mendiamkannya. Di tempat lain (juz 7/138), ia berkata: “Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani.” Kemudian membawakan hadits tersebut. Berkata Syaikh kami Abdullah Al Hakami hafidhahullah: “Mungkin sebab diamnya Al Hafidh rahimahullah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mujalid bin Said Al Hamdani. Dalam “At Taqrib” hal. 520, Al Hafidh berkata: “Ia tidak kuat dan berubah hapalannya pada akhir umurnya.” Al Haitsami bersikap tasahul (bermudah-mudah) dalam menghasankan hadits ini, beliau berkata dalam Al Majma’ (9/224): “Diriwayatkan Ahmad dan isnadnya hasan.”
15Muttafaq alaihi, diriwayatkan Bukhari dalam “Kitab Bad’il Wahyi” dan Muslim dalam “Kitabul Iman”
16Diriwayatkan Bukhari dalam “Kitab Al Haidl“, (bab Tarkul Haidl Ash Shaum) dan diriwayatkan Muslim dalam “Kitabul Iman” (bab Nuqshanul Iman binuqshanith Thaat)
17Diriwayatkan Nasa’i dalam “Isyratun Nisa’” dengan isnad yang shahih.
18Diriwayatkan Muslim dalam “An Nikah” (bab Tahrim Ifsya’i Sirril Mar’ah).
19Diriwayatkan Bukhari dalam “An Nikah” (bab Laa Tubasyir Al Mar’atul Mar’ah). Berkata sebagian ulama: “Hikmah dari larangan itu adalah kekhawatiran kagumnya orang yang diceritakan terhadap wanita yang sedang digambarkan, maka hatinya tergantung dengannya (menerawang membayangkannya) sehingga ia jatuh kedalam fitnah. Terkadang yang menceritakan itu adalah istrinya -sebagaimana dalam hadits dia atas- maka bisa jadi hal itu mengantarkan pada perceraiannya. Menceritakan kebagusan wanita lain kepada suami mengandung kerusakan-kerusakan yang tidak terpuji akibatnya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMakasih gan, sangat cocok buat saya :)
BalasHapussatujam